Aspek hukum :  Mekanisme Sanggahan Dan Pengaduan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Minggu ke XV


Sanggahan di atur dalam Pasal 81 dan 82 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan di dalam Pasal 81 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebutkan bahwa “peserta pemilihan penyedia barang/jasa yang merasa dirugikan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan secara tertulis apabila menemukan;
a. Penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Peraturan Presiden ini dan yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan Barang/Jasa;
b. Adanya rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat; dan/atau
c. Adanya penyalahgunaan wewenang oleh ULP dan/atau pejabat yang berwenang lainnya.
Kemudian dalam ayat (2) disebutkan yaitu “surat sanggahan disampaikan kepada ULP dan ditembuskan kepada PPK, PA/KPA dan APIP K/L/D/I yang bersangkutan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman pemenang. Dan dalam ayat (3) nya disebutkan bahwa “ULP wajib memberikan jawaban tertulis atas semua sanggahan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah surat sanggahan diterima”. Selanjutnya dalam Pasal 82 disebutkan yaitu sebagai berikut;
a. Pasal 82 ayat (1); “Penyedia Barang/Jasa yang tidak puas dengan jawaban sanggahan dari ULP dapat mengajukan sanggahan banding kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya jawaban sanggahan”.
b. Pasal 82 ayat (2); “Penyedia Barang/Jasa yang megajukan sanggahan banding wajib menyerahkan Jaminan Sanggahan Banding yang berlaku 20 (dua puluh) hari kerja sejak pengajuan Sanggahan Banding”.
c. Pasal 82 ayat (3); “Jaminan Sanggahan Banding ditetapkan sebesar 2% (dua perseribu) dari nilai total HPS atau paling tinggi sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
d. Pasal 82 ayat (4); “Sanggahan Banding menghentikan proses Pelelangan/Seleksi.”
e. Pasal 82 ayat (5); “LKPP dapat memberikan saran, pendapat dan rekomendasi untuk penyelesaian sanggahan banding atas permintaan Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi.”
f. Pasal 82 ayat (6); “Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi memberikan jawaban atas semua sanggahan banding kepada penyanggah banding paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah surat sanggahan banding diterima”.
g. Pasal 82 ayat (7); “Dalam hal sanggahan banding dinyatakan benar,Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi memerintahkan ULP/Pejabat Pengadaan melakukan evaluasi ulang atau Pengadaan Barang/Jasa ulang.”
h. Pasal 82 ayat (8); “Dalam hal sanggahan banding dinyatakan nyatakan salah,Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi memerintahkan agar ULP melanjutkan proses Pengadaan Barang/Jasa ulang.”
i. Pasal 82 ayat (9); “Dalam hal sanggahan banding dinyatakan benar, Jaminan Sanggahan Banding dikembalikan kepada penyanggah.”
j. Pasal 82 ayat (10); “Dalam hal sanggahan banding dinyatakan salah, Jaminan Sanggahan Banding disita dan disetorkan ke kas Negara/Daerah.”
Aturan Pasal 82 dan Pasal 82 diatas memuat Hukum Acara mengenai Sanggahan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang wajib dipatuhi oleh Penyedia Barang/Jasa. Jika dianalisa secara lebih mendalam maka sedikitnyaada 4 (empat) unsur yang dapat dijadikan bahan untuk melakukan sanggahan yaitu;
1. Adanya penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah diatur sesuai dengan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
2. Adanya penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan;
3. Adanya rekayasa yang menimbulkan persaingan tidak sehat, dan;
4. Adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh ULP dan/atau pejabat yang berwenang lainnya.
Keempat unsur diatas merupakan unsur/perbuatan objektif bagi Penyedia Barang/Jasa untuk dapat mengajukan sanggahan tertulis yang ditujukan kepada ULP dan ditembuskan kepada PPK, PA/KPA dan APIP K/L/D/I. Pengajuan sanggahan tertulis kepada ULP telah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf g poin 1 yang menyebutkan bahwa “tugas pokok dan kewenanngan ULP/Pejabat Pengadaan meliputi; khusus untuk ULP menjawab sanggahan.”
Yang menjadi rancu dalam setiap mekanisme sanggahan tersebut adalah ULP yang di dalamnya terdapat Kelompok Kerja (Pokja) yang sesuai dengan Pasal 17 ayat (2) huruf g poin 2 huruf a dan b berwenang “menetapkan penyedia barang/jasa untuk Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp 100.000.000.000,00 (Seratus Miliar Rupiah) dan Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp 10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah),” diwajibkan untuk menjawab sanggahanatas 4 (empat) jenis unsur perbuatan objektif diatas terhadap sanggahan tertulis yang diajukan oleh Penyedia Barang/Jasa. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ada ULP yang akan menjawab sanggahan penyedia barang/jasa dengan menyatakan bahwa “ya benar bahwa kami telah melakukan penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur sesuai dengan Peraturan Presiden ini, “ya benar bahwa kami telah melakukan penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan”, “ya benar bahwa kami telah melakukan rekayasa”, atau “ya benar bahwa kami telah melakukan penyalahgunaan wewenang” atau dengan kata lain apakah ada ULP/Pokja yang mengakui bahwa dirinya lalai atau telah melakukan penyimpangan prosedur, rekayasa dan/atau penyalahgunaan wewenang?.
Jika dalam praktiknya ada ULP/Pokja yang bersikap demikian yaitu mengakui kesalahan/kelalainnya maka ULP/Pokja tersebut wajib diberikan penghargaan. Tetapi jika dalam praktiknya tidak ada ULP/Pokja yang akan bersikap demikian maka mekanisme sanggahan diatas perlu diubah/direvisi oleh LKPP supaya rasa keadilan para Penyedia Barang/Jasa dapat terpenuhi dengan baik. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu mekanisme tersendiri dalam rangka mengelola dan menyelesaikan sanggahan di bidang pengadaan barang/jasa misalnya dibentuk Komisi Etik Pengadaan Barang/Jasa Indonesia yang berfungsi melaksanakan ketentuan Pasal 81 Peraturan Presiden Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kemudian, seiring dengan adanya pemberlakuan E-Procurement melalui E-Tendering maka di dalam perubahan Peraturan Presiden Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sanggahan banding sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Peraturan Presiden Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sudah dihapuskan dan dicabut sehingga di dalam Peraturan Presiden Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sudah tidak ada lagi mekanisme Sanggah Banding. Hal ini akan semakin mempersempit ruang bagi pencari keadilan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk menyuarakan ketidakadlian yang dialaminya. LKPP sebagai regulator di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah seharusnya menyediakan mekanisme pengganti Sanggah Banding yang dapat dijadikan sebagai media bagi para pencari keadilan untuk melaporkan/mengadukan ketidakdilan yang dialaminya baik dalam pra- pemilihan maupun pasca-pemilihan

Komentar

Postingan populer dari blog ini