ETIKA PROFESI MINGGU II-III


LINGKUP BAHASAN
1.          Konsep dan analisa filsafat dan etika
Pada dasarnya, etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode pada tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau menerjemahkan berbagai nilai itu ke dalam norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.
Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia.
Dalam arti etis, baik dan buruk ini memainkan peranan dalam hidup setiap manusia. Tak hanya sebatas kini, tapi juga di masa lampau. Bertens (1993:12), misalnya, menyebutkan, ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah memberitahukan kita bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Akan tetapi, lanjut Bertens, segera perlu ditambah bahwa tidak semua bangsa dan tidak semua zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau kelompok sosial yang mengenal “tabu”, sesuatu yang dilarang keras (misalnya, membunuh binatang tertentu), sedangkan pada bangsa atau kelompok sosial lainnya perbuatan-perbuatan yang sama tidak terkena larangan apa pun. Dan sebaliknya, ada hal-hal yang di zaman dulu sering dipraktekkan dan dianggap biasa saja, tapi akan ditolak sebagai tidak etis oleh hampir semua bangsa beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat disebut: kolonialisme, perbudakan, dan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, semua bangsa mempunyai pengalaman tentang baik dan buruk, tapi tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik dan buruk.
Sebagai ilmu dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian dari manusia, tetapi untuk semua manusia. Apa yang ditemukan oleh etika mungkin memang menjadi pedoman bagi seseorang, namun tujuan pertama dan utama dari etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu. Atau, seperti ungkapan Poedjawijatna (1990:7), “etika mencari dengan kemungkinan untuk keliru, dan kalau keliru, akan dicari lagi sampai terdapat kebenaran.”
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalammetafisika; dan, kedua, politik: yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal (Suriasumantri, 1994:32).
Berkaitan dengan sifat yang “ada” maka cabang filsafat yang pertama adalah filsafat yang menjadikan yang “ada” secara umum sebagai objek penyelidikannya (Mulkhan, 1994:36). Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat yang menyelidiki yang “ada” secara khusus, dalam arti kekhususan sesuatu secara umum.
Begitulah seterusnya; sifat-sifat khusus yang beragam dari yang “ada” melahirkan berbagai cabang khusus dari filsafat. Karenanya, cabang-cabang filsafat dapat dipahami dari kekhususan objeknya yang tersusun secara hierarkhis dan secara fungsional. Secara hierarkhis, karena sifat-sifat khusus dari sesuatu yang “ada” tersusun sebagai suatu kesatuan sehingga membentuk yang “ada” itu sendiri. Selanjutnya, kekhususan yang “ada” secara fungsional karena kekhususan sesuatu dapat dilihat dari sudut fungsi dari sifat-sifat khusus yang “ada” tersebut. Secara keseluruhan bagi struktur maupun fungsi merupakan kesatuan dari apa yang disebut “ada” tersebut.
Berdasarkan pandangan teoretis di atas akan dapat dipahami mengenai lahirnya cabang-cabang filsafat serta aliran-aliran pandangan di dalamnya. Cabang-cabang serta aliran filsafat yang timbul tidak mengurangi arti yang “ada” sebagai yang “ada” sebagaimana dirinya sendiri.
Atas dasar kerangka hierarkhis dan fungsional kekhususan objek filsafat di atas, dapat dikemukakan berbagai cabang dan aliran dalam filsafat. Kemudian, dapatlah dipahami bahwa cabang-cabang serta aliran filsafat akan berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kemampuan akal atau pikir manusia itu sendiri.
Misalnya, dalam buku Filsafat Ilmu Abas Hamami (1996:155-156) membagi filsafat ke dalam dua kelompok bahasan, yaitu filsafat teoretis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi, filsafat teoretis mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam, hakikat realitas sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, tentang yang transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoretis pun mempunyai maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pema­haman yang dicarinya untuk menggerakkan kehidupan.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat dengan pelbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar kebenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.
Sementara itu, Jujun Suriasumantri, selain membagi kajian filsafat ke dalam lima pokok permasalahan yang menyangkut logika, etika, estetika, metafisika, dan politik, sebagaimana disinggung di muka, juga menyebutkan bahwa kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik, di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
(1) Epistemologi (Filsafat Pengetahuan);
(2) Etika (Filsafat Moral);
(3) Estetika (Filsafat Seni);
(4) Metafisika;
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan);
(6) Filsafat Agama;
(7) Filsafat Ilmu;
(8) Filsafat Pendidikan;
(9) Filsafat Hukum;
(10) Filsafat Sejarah;
(11) Filsafat Matematika (Suriasumantri, 1994:32-33).
Dari cabang filsafat lain etika dibedakan oleh karena tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana ia harus ber­tindak. Etika adalah filsafat tentang praksis manusia. Etika adalah praksiologik. Semua cabang filsafat berbicara tentang “yang ada”, sedangkan etika membahas “yang harus dilakukan”. Itu sebabnya etika tidak jarang disebut juga “filsafat praktis” (Bertens, 1993:27). “Praktis”, karena menurut Bertens, cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Sifat dasar etika adalah sifat kritis. Etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu. Terhadap norma yang de facto berlaku, etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya. (Apakah berlaku de jure pula). Norma yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis ini akan kehilangan haknya (Zubair, 1990:9-10).
Pemikiran kritis dari filsafat, menurut Abdul Munir Mulkhan, mempersoalkan segenap kenyataan yang salah satu di antaranya merupakan objek persoalan ilmu. Penelitian filsafat adalah pene­litian terhadap segala ilmu dan kenyataan serta proses mengetahui atau memperoleh ilmu. Bagian khusus yang menyelidiki mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ini dikenal dengan epistemolo­gi atau filsafat ilmu atau bahkan ada yang menyebut dengan meto­dologi (Mulkhan, 1993:43).
Ilmu itu sendiri merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri (Saefuddin,dkk, 1987:15). Penjelasan ini akan memungkinkan kita untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dan dengan demikian memungkinkan kita untuk mengontrol gejala terse­but. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah kegiatannya pada daerah pengalaman manusia. Artinya, objek penelaahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat pancainderanya.
Dalam kaitan ini, filsafat bukan saja mempunyai pertautan dengan segenap ilmu akan tetapi bersangkut-paut dengan seluruh ilmu pengetahuan. Selain itu, filsafat merupakan sumber informasi lengkap mengenai tumbuh-kembangnya suatu pengetahuan yang bagaimanapun akan senantiasa bersumber pada filsafat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa filsafat merupakan pendasar atau penelaah ilmu, pengalaman dan karya manusia, atau pemberi arah, serta pemberi kritik dan kontrol.
Karena itu, apabila kita sepakat dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah “induk” segala ilmu pengetahuan, maka metode, objek, dan sistematika filsafat mempunyai arti fungsional bagi setiap upaya pengembangan ilmu-ilmu lain. Jadi, atas dasar konsep itu, setiap ilmu lain yang bersifat terapan, termasuk etika, merupakan pengembangan metode dan sistematika disiplin filsafat. Atau sebagai pengkhususan dari salah satu perhatian objek analisis filsafat.
Bahwa sedemikian besar implikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, barangkali tampak paling jelas, jika kita menginsafi arti perkembangan itu untuk filsafat dan etika. Perkembangan itu mempunyai arti khusus bagi filsafat, karena refleksi tentang apa yang dinyatakan ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai hakikat manusia sangat penting untuk menjawab pertanyaan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang arti keberadaannya di dunia. Perkembangan itu mempunyai arti khusus pula untuk etika, karena seperti dikatakan A.G.M. van Melsen (1992:130), refleksi filosofis tidak pernah netral, tetapi men­gundang kita untuk mengambil suatu sikap hidup dan mewujudkan kehidupan kita sesuai dengan apa yang dinyatakan sebagai hakikat manusia


2.          Pengenalan etika sebagai pedoman moral
Istilah etika, moral, norma dan nilai sering tidak bisa dibedakan secara jelas, dan seiring mengacu pada hukum yang berlaku secara umum di masyarakat. Etika adalah sebuah cabang filsafat yang membicarakan nilai dan norma, moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika mempunyai tiga arti : Pertama, nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan- kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai yang dianggap baik dan buruk)yang bisa diterima masyarakat. Etika disini sama artinya dengan filsafat moral. Etika adalah ilmu yang mempelajari cara manusia memperlakukan sesamanya dan apa arti hidup yang baik. Etika mempertanyakan pandangan orang dan mencari kebenaran. Istilah moral kadang dipergunakan sebagai kata yang sama artinya dengan "etika". Moral berasal dari kata Latin mos, moris (adat, istiadat), kebiasaan, cara, tingkah akhlak, cara hidup ( Lorens Bagus, 1996:672). Jadi etimologi kata "etika" sama dengan etimologi "moral" karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda ; etika dari bahasa Yunani, dan  moral dari bahasa Olatin. Moralitas atau sering disebut ethos ialah sikap manusia berkenaan dengan hukum moral. Moralitas ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaaan. Sedangkan norma berarti ukuran, garis pengarah atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian. Nilai yang menjadi milik bersama dalam suatu masyarakat dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama. Norma ini mengandung sangsi dan penguatan ( reinforcement), yaitu (a) jika tidak dilakukan sesuai norma, maka hukumannya adalah celaan, (b) jika dilakukan sesuai dengan norma, maka pujian, balas jasa  adalah imbalannya. Nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, berguna, dihargai, atau dapat menjadi objek kepentingan. Nilai moral mempunya tuntutan yang lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai moral merupakan himbauan hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah timbulnya suara dari hati nurani yang menuduh diri sendiri meremehkan, atau menentang nilai-nilai moral atau menguji diri bila dapat mewujudkan nilai-nilai moral. Dari tulisan ini akan timbul pertanyaan: Mengapa kita harus bermoral? Mengapa kita harus mengambil bagian dalam kehidupan lembaga moral? Mengapa kita harus mengambil sudut pandang moral? Sudahkah kita bermoral?

3.          Hubungan etika dan agama

Persoalan etika dan agama adalah dua hal yang tidak perlu dipertentangkan. Bahkan seperti disampaikan oleh Franz Magnis Suseno Etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi etika dapat membantu agama dalammemecahkan masalah yang sulit dijawab oleh agama. Misalnya, bagaimana kita harus mengartikan sabda Allah yang termuat dalam wahyu? Bagaimana menanggapi persoalan moral yang belum dibicarakan ketika wahyu diterima, seperti bayi tabung atau pencangkokan ginjal? Pertanyaan-pertanyaan ini memperlihatkan bahwa bagaimanapun agama membutuhkan etika dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.
Etika dalam pandangan Magnis Suseno adalah “ usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk menyelesaikan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. ...itulah sebabnya mengapa justru kaum agama diharapkan betul-betul memakai rasio dan metode-metode etika.” Tetapi sebaliknya memutlakkan etika tanpa agama adalah berbahaya. Ini yang dikatakan A.SudiarjaSJ bahwa etika bisa merendahkan atau cenderung mengabaikan kepekaan rasa, kehalusan adat kebiasaan,konvensi sosial dan sebagainya. Bahkan bahaya formalisme bisa terjadi, berpikir baik buruk secara moral tetapi tidak mampu menjalankannya. Etika bisa menjadi ilmu yang kering dan mandul yang mempunyai kebenaran tetapi kurang mampu dilaksanakan.
Akhirnya kita hanya bisa menjadi pejuang moral di mana kita sendiri tidak memaknai apa yang sedang kita perjuangkan. Kita kritis terhadap tindakan moral tetapi kita sendiri sulit untuk melakukan apa yang di kritisi. Sebaliknya manusia yang hanya mengandalkan agama tanpa etika maka merekapun cenderung akan menjadi budak absolut kebenaran pada agamanya. Nietzsche menyebutnya “Moral Budak-budak”. melihat sesamanya hanyalah wajah yang tidak bermakna, yang akhirnya hanya bertindak berdasarkan kebenaran agamanya dan inilah yang terjadi dengan beberapa kelompok massa di Indonesia seperti FPI (Front Pembela Islam) yang menganggap kebenaran hanyalah milik satu agama. Atau seperti kelompok teroris yang menganggab doktrin mereka tidak pernah salah dan telah berada di jalan yang benar, sehingga membunuh orang tidak berdosa pun menjadi halal bagi mereka.
Apakah Etika itu?
Sebelum lebih jauh kita membahas tentang hubungan etika dan agama, atau mencari titik temudiantara keduanya, maka ada baiknya kita memahami apa etika itu. Memahami etika pertama-tama perlu untuk membedakannya dengan moral. Etika lebih pada prinsip-prinsip dasar baik buruknya perilaku manusia, sedangkan moral untuk menyebut aturan yang lebih kongkrit. Ibaratnya ajaran moral merupakan petunjuk bagaimana kita harus bertindak sedangkan etika adalah bagaimana memberi penilaian terhadap tindakan kita. A.Sudiarja SJ menyebut “etika sebagai filsafat moral, karena objek pengamatannya adalah pandangan dan praksis moral.” Sedangkan Sudarminta menyebut objek material etika adalah tingkah laku atau tindakan manusia; sedangkan objek formalnya adalah segi baik buruknya atau benar salahnya tindakan tersebut berdasarkan norma moral.
Secara sederhana etika dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari secara sistematis tentang moralitas dan memberi penilaian terhadap tindakan moral. Meskipun demikian etika dalam pandangan Magnis Suseno bahwa dia tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Dengan demikian etika dapat juga dikatakan sebagai sebuah pandangan filosofis dalam melihat perilaku manusia. Perilaku tersebut tercermin dalam tindakan moralnya. Sehingga seseorang tidak perlu beretika untuk membuat tindakan moral. Moral merupakan tindakan yang tidak terikat oleh apapun, termasuk agama. Orang bisa betindak moral tanpa harus beragama dan sebaliknya orang beragama bisa bertindak amoral.
Masih adakah tindakan moral yang otonom? Sebuah pertanyaan yangmenjadi pergumulan kita sekarang ini, benarkah ada tindakan moral yang tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang eksternal? Benarkah masih ada keberanian moral yang berdasarkan suara hati? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang sulit dijawab, karena pada kenyataannya situasinya menjadi berbeda, bahwa sebagian manusia bertindak berdasarkan kebiasaan yang ada disekitarnya. Bertindak berdasarkan adat istiadat,bertindak berdasarkan agama, bertindak berdasarkan kepentingan politik, dan bertindak berdasarkan pergumulan sosial dll. Dalam pandangan empirisme, maka dapat dikatakan tidak ada tindakan moral yang tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang eksternal. Tentu saya tidak ingin mempertentangkan empirisme dan rasionalisme, serta tidak akan membahas terlalu jauh tentang tindakan moral, karena saya hanya ingin melihat bagaimana etika dalam praksis kehidupan manusia, serta bagaimana keterkaitannya dengan agama.
Mengapa manusia beragama?
Pertanyaan yang sederhana tetapi sangat mendasar untuk lebih memahami mengapa penting bicara tentang agama. Salah satu ciri khas manusia adalah dia mampu berefleksi terhadap kehidupannya. Seperti yang diungkapkan Teilhard de Chardin yang dikutip oleh Sastrapratedja bahwa “hewan mengetahui tetapi hanya manusia mengetahui bahwa ia mengetahui” kesadaran diri adalah ciri manusia, karena itu ia mampu berefleksi terhadap hidupnya. Ia mampu berefleksi terhadap kehidupan religiositanya, karena itu tidak salah jika manusia kita sebut sebagai mahluk religius. Sebagai mahluk religius, maka ia mencari yang transenden dalam dirinya, dan manusia mendapatkan itu dalam nilai-nilai agama. Jika agama tidak lagi mampu membuat manusia berefleksi terhadap hidupnya, maka agama pun ditinggalkan oleh manusia dan manusia mulai mencari keberagamaannya dalam bentuk yang berbeda.
Agama memberi doktrin kebenaran yang tidak mungkin diubah oleh manusia. Agama menganggapnya wahyu yang absolut, tetapi bisa ditafsirkan. Karena itu ketika agama bersentuhan dengan etika, maka ajaran agama sebagai yang absolut tidak mungkin diubah, tetapi dalam keabsolutannya etika mempunyai peran untuk menjaga para penafsir untuk tidak menjadi bias. Dengan racionalitas etika maka agama dapat dipahami dalam konteksnya. Untuk lebih memahami hubungan antara keduanya maka akan jelas dalam penjelasan selanjutnya.
Bagaimana Hubungan Etika dan Agama
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa etika dan agama adalah dua hal yang tidak harus dipertentangkan. Antara etika dan agama adalah dua hal yang saling membutuhkan, atau dalam bahasa Sudiarja “agama dan etika saling melengkapi satu sama lain”. Agama membutuhkan etika untuk secara kritis melihat tindakan moral yang mungkin tidak rasional. Sedangkan etika sendiri membutuhkan agama agar manusia tidak mengabaikan kepekaan rasa dalam dirinya. Etika menjadi berbahaya ketika memutlakan racio, karena racio bisa merelatifkan segala tindakan moral yang dilihatnya termasuk tindakan moral yang ada pada agama tertentu.
Hubungan etika dan agama akan membuat keseimbangan, di mana agama bisa membantu etika untuk tidak bertindak hanya berdasarkan racio dan melupakan kepekaan rasa dalam diri manusia, pun etika dapat membantu agama untuk melihat secara kritis dan rasional tindakan –tindakan moral. Bahwa kepelbagaian agama adalah salah satu hal yang membuat kita juga menjadi sadar betapa pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan manusia yang berbeda agama tanpa etika di dalamnya. Kebenaran mungkin justru akan menjadi sangat relatif, karena kebenaran moral hanya akan diukur dalam pandangan agama kita. Diluar agama kita maka tidak ada kebenaran. Etika dapat dikatakan telah menjadi jembatan untuk mencoba menghubungkan dan mendialogkan antara agama-agama.
Kita dapat mengatakan bahwa etika, secara filosofis menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan agama-agama, khusunya bagi negara-negara yang majemuk seperti Indonesia. Etika secara rasional membantu kita mampu untuk memahami dan secara kritis melihat tindakan moral agama tertentu. Kita tidak mungkin menggunakan doktrin agama kita untuk melihat dan menganalisis agama tertentu. Sebuah pertanyaan menarik akan muncul, jika sekiranya agama hanya satu apakah dengan demikian etika tidak lagi dibutuhkan? Karena agama tersebut akan menjadi moral yang mutlak dalam kehidupan manusia. Kalau kita tetap memahami bahwa etika hadir untuk secara rasional membantu manusia memahami tindakan moral yang dibuatnya, maka tentu etika tetap menjadi penting dalam kehidupan manusia. Karena etika tidak akan terikat pada apakah agama ada atau tidak etika akan tetap ada dalam hidup manusia selama manusia masih menggunakan akal sehatnya dan racionya dalam kehidupannya. Sekalipun manusia menjadi ateis, etika tetaplah dibutuhkan oleh mereka yang tidak mengenal agama.
Pertanyaan berikut yang akan muncul adalah apakah cukup kita ber-etika tanpa ber-agama? Jika kita mencoba memahami secara filosofis, maka dapat dikatakan bahwa etika tanpa agama adalah kering, sebaliknya agama tanpa etika hambar. Bahwa manusia tidak hanya diciptakan sebagai mahluk rasional, tetapi melekat dalam dirinya mahluk religius yang membuat dia mampu berefleksi terhadap kehidupannya. Karena itu agama akan membantu manusia untuk bertindak tidak hanya berdasarkan rasionya tetapi juga berdasarkan rasa yang ada dalam dirinya. Satu kesatuan antara rasio dan rasa yang melekat dalam diri manusia. Manusia bukanlah mahluk egois yang harus mengandalkan rasionya semata-mata.
Hubungan Agama dan etika dalam konteks etika Global
Sebuah pertanyaan menarik bagaimana etika Global melihat hubungan Agama dan Etika. Jika melihat konsep yang disampaikan oleh Hans Kung dalam Etic Global. Maka pertama–tama harus ada kesadaran setiap agama, bahwa dalam perbedaan doktrin kita tetap mempunyai persamaan-persamaan etis yang bisa mempersatukan. Untuk mempersatukan persamaan ini, maka etika mempunyai peran sangat penting didalamnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa ketika agama-agama berbeda dalam doktrin, maka etika telah menjadi pemersatu. Perbedaan keyakinan bisa terjadi pada setiap agama, tetapi rasio melalui etika telah menjadi sarana dialog. Tidak dapat disangkal bahwa etika telah mempunyai peran sangat penting dalam mencoba untuk mendialogkan agama-agama.
Karena itu peran etika global dalam konteks agama-agama, sangatlah dibutuhkan. Pun kita menyadari bahwa etika tidak akan dapat menganti peran dari agama. Etika global seperti yang disampaikan oleh Hans Kung bahwa dia tidak akan pernah menggantikan Taurat, Khotbah di Bukit, Alquran, Bhagavadgita, Wacana dari Buddha atau para ungkapan Konfusius. Etika global hanya mencoba mencari titik temu diantara agama-agamadalam nilai-nilai tertentu dengan menggunakan pendekatan etika. Dengan demikian keterhubungan etika dan agama dalam etika global sangat nampak dalam pencarian nilai bersama dengan menggunakan nilai yang logis dan dapat diterima oleh semua manusia.
Kesimpulan dan Refleksi
Dengan penjelasan dari berbagai sudut pandang, maka dapat kita katakan bahwa hubungan etika dan agama merupakan hubungan timbal balik yang saling membutuhkan. Etika tidak dapat berjalan sendiri dengan rasionalitasnya, pun agama tidak dapat berjalan sendiri dengan doktrinnya. Etika tanpa agama menjadi kering dan agama tanpa etika menjadi hambar. Etika yang baik adalah etika yang memberi ruang terhadap kepekaan rasa dan tidak hanya mengandalkan rasio dalam bertindak. Karena etika seperti ini hanya akan mendatangkan sebuah kebenaran subjektif yang tidak bernilai, dan cenderung melupakan hakekat manusia sebagai mahluk religius. Kepekaan rasa itu terdapat dalam agama. Sebaliknya agama pun harus mengakui pentingnya etika dalam kehidupan bersama. Bahwa tanpa etika maka agama-agama akan sulit untuk mencari nilai bersama, karena masing-masing agama mempunyai doktrin sendiri-sendiri. Karena itulah etika mempunyai peran besar dalam agama-agama. Etika juga menjadi penting untuk memahami dan menilai tindakan moral secara kritis dari setiap perilaku moral manusia baik itu moral dasar,moral agama/etnis dan kesukuan , dan moral sosial.
Sebagai mahluk religius yang dimampukan berefleksi terhadap hidupnya, maka dia membutuhkan racio untuk memahami kebenaran. Sebagai mahluk racional yang membedakannya dari mahluk lain, maka dia membutuhkan spirit religiositas sehingga dia bertindak berdasarkan rasa sehingga dia ada untuk kebaikan manusia dan tidak menjadi mahluk yang egois yang melupakan eksistensi sosialnya. Serta tidak hanya menjadi mahluk yang moralis atau humanis, tetapi benar-benar melekat dalam dirinya sebagai mahluk religius dan racional.



Komentar

Postingan populer dari blog ini